KUMPULAN CERPEN REMAJA YANG TERBARU
1. CERPEN bertajuk Hari-Hari Huru-Hara (500 kata)
Kutu komik, begitulah
teman – teman memanggil nama seorang bocah yang doyan melahap beberapa
komik dalam kesehariannya. Namanya aslinya sih haniv. Tapi yang manggil
namanya dengan benar hanya orang tuanya saja. Haniv kini duduk di salah satu
SMP di kota Purbalingga. Setiap harinya ia berangkat ke sekolah dengan sepeda
motor milik ayahnya sekitar jam 6 pagi.
Hingga pada suatu pagi
motor ayahnya mogok dan bersamaan dengan itu juga ia bangun kesiangan. Dengan
terpaksa iapun berjalan kaki sendiri dengan kondisi terburu-buru. Ketika sedang berjalanmenuju sekolah tiba – tiba ia
tersandung benda. “Aduuuuuhhh, apa ini?”
Ketika diambil dan
dilihat, ia kaget ternyata benda itu adalah boneka mirip tikus yang sudah
lusuh. Karena bentuknya jelek, maka ia buang jauh-jauh. Tanpa ia sadari diam –
diam boneka tadi berjalan mengikuti haniv dan masuk ke dalam tasnya.
Langkah demi langkah ia
lalui tanpa ada rasa aneh sedikitpun. Hingga di ujung jalan besar yang ia lalui
ada sekelompok ibu – ibu yang mendekat dan menyelanya. “Hei nak, kamu niat
sekolah apa enggak sih? Jam segini baru berangkat. Huh dasar..”
Hanivpun tak
memperdulikannya, tapi di dalam benaknya ada rasa kesal dan ingin membalas,
tapi apa daya. Tanpa sepengetahuan haniv boneka tikus tadi keluar dari tasnya
dengan berwujud tikus asli dan mendekati ibu – ibu yang tadi sempat menyela
haniv. Semakin mendekat dan mendekat, alhasil salah satu ibu tadi melihatnya
dan menjerit. “aaaaaaaaaaa tolongg ada tikusss....”. mendengar ibu tadi
menjerit, semua ibu – ibu yang ada pun menjerit dengan bebas.Jeritan para ibu
tak terdengar oleh haniv karena ia berjalan dengan cepat dan sudah jauh dari
tempat tadi.
Sungguh sial nasib
haniv hari itu, tidak hanya para ibu yang mengejek haniv tetapi teman
sekelaspun ikut membullynya karena dia adalah satu-satunya siswa yang remidi
ulangan Bahasa Indonesia. Rasa kesalpun menghampiri haniv, “kenapa sih hari ini
aku sial banget ya??? Awas aja, kalo aku ada kesempatan kubalas kau.” Gumamnya
dalam hati.
Tiba- tiba boneka tikus
yang ada di tas hanivpun berubah dan menyeruak keluar. Tikus itu berlari menuju
sekerumunan siswa perempuan yang asyik menggosip dan sempat mengejek
haniv tadi.Ternyata tidak hanya menakut – nakuti mereka, tikuspun menggigit
kaki salah satu siswa. Alhasil ia pun menjerit kesakitan dan siswi lainpun
menjerit dengan longlongan yang merdu pula. Suasana kelaspun menjadi gaduh bah
diguyur hujan bongkahan es.
Kejadian serupapun
terjadi pula di rumah dan menambah kehangatan suasana sial haniv hari itu.
Karena haniv adalah anak yang jujur, maka ia dengan rasa tenang menyerahkan
hasil ulangannya yang membara kepada ibunya dengan suasana ramai saudara –
saudara haniv saat itu. “ini bu, hasil ulangan haniv” sambil menyodorkan
secarik kertas putih.
“ini ulangan apa balado terong? Kok ada
merah – merahnya? Hahahaha” ejek kakak perempuannya. Suara tawapun disambut
oleh anggota keluarga yang lain.
Hati hanivpun semakin membara seperti
nilai ulangannya. Ia langsung berlari menuju kamarnya dan menguncinya. Tikuspun
kembali beraksi dengan mengageti kakak haniv yang mengejeknya. Iapun menjerit
dengan lantangnya. Jeritan itu disusul jeritan saudaranya yang lain. Suasana
rumahpun kini seperti konser dangdut yang ricuh. Haniv yang berada di kamarpun
tidak memperdulikan apa yang terjadi diluar. Iapun tertidur dengan pulasnya. -Resli Andika-
2. CERPEN bertajuk 70 tahun Indonesia Merdeka
Kokok
Merdeka
Nasionalisme adalah sikap yang sangat
jarang ditemui pada sebagiaan remaja dewasa ini. Sejak kemunculan gadget-gadget yang sudah sangat canggih
yang notabene-nya mampu menyita
sebagian besar waktu dalam hidup, sikap nasionalisme remajapun kini hampir
pudar ditelan racun waktu raksasa itu. Hal ini tidak hanya terjadi di kota-kota
besar saja, tetapi sudah merembet ke
pelosok desa yang terbilang kecil termasuk pada sebuah desa yang bernamakan
Desa Nangkasawit. Meskipun terbilang desa kecil yang notabene-nya masyarakat aktif dan giat, tapi akibat dari
globalisasi masyarakat khususnya remaja sudah mulai meninggalkan kehidupan
nyata masyarakat pedesaan dan mulai beralih pada kehidupan maya yaitu dengan gadget-gadget canggihnya.
Berbeda dan berbanding terbalik dengan
remaja pada umumnya yang asyik dengan ponsel canggihnya masing-masing, seorang
remaja yang biasa disapa Faiz malah hampir tidak mempunyai waktu untuk
bermain-main apalagi bermanja dengan barang elektronik yang sedang booming itu. Waktu sepulang sekolahnya
ia gunankan untuk ngrepek atau
mencari kayu bakar dan melakukan aktivitas yang lain.
Kini Faiz tinggal hanya bersama ibunya.
Ayahnya sudah lama pergi dan tak tau rimbanya sejak ia masih dalam perut ibunya
sampai sekarang. Meskipun demikian Faiz tak pernah mengeluh akan nasibnya, ia
berfikir bahwa nasib yang diberikan Tuhan hari ini adalah modal awal untuk
meraih masa depan dikemudian hari. Tekad itulah yang membangkitkan semangat
jiwa Faiz untuk menggapai keinginan terbesarnya yaitu mengibarkan bendera
pusaka sebagai Paskibraka.
Meski harapannya mulia, tapi banyak
saja pedang tajam lisan temannya yang
mencela akan hal itu. Banyak dari temannya yang menganggap Faiz adalah anak
yang tidak tau diri dan tidak melihat kondisi kenyataan dan keinginannya yang
terpaut amat jauh.Caci maki serta celoteh-celoteh
kasar dan menyayat hati sering didapatnya, namun dirinya tak mau
mendengarkannya.
Pada suatu saat ia berfikir kembali
akan harapannya yang sering dicela teman teman di sekolahnya.
“aku badanya pendek, posturku jelek.
Gimana aku bisa jadi paskibraka yang ngibarin bendera pusaka ?”. Gumam Faiz dalam
hati. “lebih baik aku cerita sama ibu aja lah” lanjutnya.
“bu, Faiz boleh cerita sebentar nggak?”
“ya tentu boleh lah nak, emangnya ada
apa?”
“gini bu, Faiz kan cita-citanya pengin
jadi paskibraka yang ngibarin bendera kaya di TV itu bu. Tapi badan Faiz kan
pendek, apa bisa jadi kaya mereka bu?” tanya Faiz lirih.
“Faiz, jadi paskibraka itu bukan hal
yang mudah, mereka juga terpilih sudah dari berbagai tingkat seleksi yang ketat
tentunya. Mulai dari postur tubuh, pengetahuan ataupun yang lain.” Jawab ibu
membenarkan. “meskipun kamu nantinya mungkin tidak jadi paskibraka, tetapi hati
dan jiwa paskibraka pasti kau dapat” lanjut ibu.
“maksudnya
apa bu?” tanya Faiz bingung.
“nanti juga kau tau sendiri maksud
kalimat ibu tadi.” Jawab ibu sambil meninggalkan Faiz.
Sejak saat itu, Faiz mulai berfikir apa
maksud perkataan ibu tadi.
Ketika Faiz sedang melamun memikirkan
perkataan ibunya, tiba tiba terlintas dalam benaknya maksud perkataan itu.
“apa mungkin yang ibu maksud itu meski
tidak bisa mengibarkan bendera pusaka menjadi seorang paskibra, tapi aku juga
bisa mengibaran bendera sebagai seorang Faiz yang memiliki jiwa paskibra dan
semangat nasionalisme?”` pikirnya. “oh ya itu yang ibu maksud, ya ya ya
sekarang aku tahu” lanjutnya dengan penuh semangat.
Setelah itu ia mencari celengan ayam
yang dulu pernah diberikan ibu padanya sebagai hadiah ulang tahun.
“oke ayam, sekarang kau itu sahabatku.
Sekarang aku menabung di perutmu supaya aku bisa beli kain merah dan putih yang
nantinya aku kibarkan di depan rumahku pada tanggal 17 agustus nanti. Aku
letakan kau di atas meja belajarku, baik baik ya disini.” Seraya mengelus
celengan ayamnya yang sudah mulai pudar warnanya.
Sejak ia menabung di celengan ayam
miliknya, ia selalu bangun awal tidak seperti biasanya. Ia selalu mendengar
suara ayam berkokok setiap paginya, padahal di sekitar rumahnya jarang ada ayam
jantan.
“kukurruyyukkkkkkkkk,
kukurruyyyuuuukkkkk”
“lho, aneh sekali ya? Kok ada suara
kokokan ayam jantan ya? Ah mungkin itu ayam jantannya pak RT.” Pikirnya. “nggak
papa lah, alhamdulillah jadinya aku bisa sholat tahajud deh berkat suara itu”
lanjutnya.
Ia tak pernah menyangka bahwa suara
kokokan ayam jantan itu berasal dari suara celengannya. Celengannya itu sengaja
berkokok agar Faiz bisa bangun awal dan memanfaatkan waktu baiknya untuk berdoa
kepada Tuhan.
“okeh, misiku pagi ini berhasil
membangunkan Faiz untuk sholat tahajud” kata celengan ayam milik Faiz.
***
Hari demi hari sudah dilalui Faiz, dan
besok adalah hari dimana bendera pusaka akan dikibarkan. Hari ini Faiz akan
mengambil uang di celengannya untuk membeli kain merah dan putih untuk membuat
bendera sendiri.
“yam, hari ini kamu kan ku sembelih,
nggak papa ya? Jangan nangis. Uang ini buat beli kain merah sama putih. Ok,”
ujar Faiz seraya bersiap dengan pisau di tangannya.
“eh,eh,eh tapi kalo aku sembelih nanti
ilang deh, kenang-kenangan dari ibu. Lebih baik aku luasin aja lubangnya terus
aku ambil deh uangnya.” terang Faiz.
Dengan segera Faiz memperbesar lubang
pada celengannya dan mengocok celengannya sehingga uangnya keluar.
“kriiinciiiinggg,kriiinciiiinggg”
dering uang receh yang keluar dari mulut celengan Faiz.
“alhamdulillah uangnya kayaknya cukup
nih buat beli kain baru.” Ujar Faiz semangat.
Dengan penuh semangat Faiz berniat
untuk segera membeli kain, tapi tiba-tiba ibunya memanggilnya..
“Faiz, Faiz kemarilah nak.” Seru ibu Faiz.
“ya bu, sebentar.” Jawab Faiz seraya
meletakan uangnya di meja.
“Faiz, ibu minta maaf nak. Lihatlah
gentong beras kita sudah kosong dan ibu sudah tak punya uang lagi buat beli
beras. Kamu ada uang ndak buat beli beras dulu, nanti kalo ibu ada rezeki, ibu
bakal ganti.” Terang ibu
“sebentar ya bu.”
“duh gimana ya, uang ini mau kubelikan
kain. Tapi di rumah nggak ada beras. Duh bingung banget.” “ tapi kalo buat beli
kain, nanti ibu kasihan juga nanti gak bisa makan.. ya Tuhan gimana nih” ucap Faiz
lirih dan kebingungan.
“hmmmm, ya udah lah. bismillah uang ini
buat ibu aja lah. ibu lebih penting dari segalanya.” Gumam Faiz berkaca-kaca.
“ini bu, Faiz ada uang sedikit.” Sambil
menyodorkan uang
“oh baiklah nak, terimakasih nak ibu
janji akan ganti uangmu kalau ibu ada rezeki.” Balas ibu dengan senyum.
Walaupun dengan berat hati Faiz
memberikan uangnya untuk ibunya, padahal ia sudah berniat membeli kain yang
digunakan untuk membuat bendera merah putih. Oleh karena itu dia bimbang dengan
hari esok, apakah masih bisa mengibarkan bendera merah putih atau tidak.
Setelah detik itu Faiz pun memikirkan cara agar ia masih bisa mengibarkan
bendera pusaka esok hari.
Matahari sudah mulai berjalan menuju
ufuk istirahatnya, tiba tiba terlintas ide untuk membuat bendera dengan bahan
seadanya yang ada di rumah. Langsung saja Faiz mencari kain yang berwarna merah
dan putih. Kain merah didapatnya dengan memotong spanduk partai yang sudah tak
terpakai, sedang kain putihnya didapatnya dari kain bekas yang tak terpakai.
Hanya bermodalkan benang dan jarum
untuk menjahitnya, Faiz bertarung melawan kantuk yang melandanya. Apalagi
penerangan yang ia gunakan hanya sebuah sentir
(sejenis penerangan tradisional yang menggunakan bahan bakar minyak tanah) yang
nyalanya juga tak terlalu terang. Ia berfikir bahwa pengorbanan yang ia lakukan
saat ini tidak lebih dari satu derap langkah para pejuang dalam melawan
penjajah. Oleh karena itu ia tetap menjahitnya hingga akhirnya ia tertidur
dengan bersandar di kursi tua yang didudukinya.
Melihat hal itu celengan ayam yang
awalnya hanya melihat saja, sekarang ia mencoba untuk melanjutkan jahitan
bendera yang hendak dibuat oleh Faiz.
“aku harus menyelesaikan jahitan ini
sebelum Faiz bangun” gumam celengan ayam lirih.
Dengan penuh kehati-hatian si celengan
berusaha menyelesaikan jahitannya. Namun ketika pekerjaannya hampir selesai,
tiba-tiba Faiz bangun dan ia kaget
setengah mati.
“astaghfirulloh, siapa kamu? Han han
han hann......” teriak Faiz
“ssstttttt jangan berisik, aku adalah
celengan ayam kamu” terang si celengan
“bbbagaimaanna kamu bisa hiduupp?”
tanya Faiz terbata-bata
“okeh aku cerita sekarang, sebenarnya
aku adalah utusan peri yang diutus dari khayangan
melalui ibumu untuk menolong pemuda yang rajin sepertimu ,tapi diriku
diserupakan celengan ayam. Dan dari dulu yang membangunkan kamu setiap pagi
yang berkokok itu aku.” Terang celengan
“oh jadi kamu,, baiklah ayo kita
selesaikan. Supaya besok bisa ngibarin bendera.” Ajak Faiz.
Keesokan harinya Faiz bersiap siap
untuk memasang bendera hasil jahitannya sendiri. Dengan memakai baju tim
nasional sepak bola indonesia dan mulai menyalakan radio miliknya berharap
tepat jam 10 nanti ia tak ketiggalan mengikuti alunan musik lagu kebangsaan
Indonesia Raya.
Tepat jam 10 di radio sudah mulai
bersiap-siap akan memutar lagu kebangsaan, sementara itu Faiz sedang memasang
benderanya pada bambu di depan rumahnya dan dikubur pangkal bawahnya. Dengan
posisi hormat sempurna Faiz mulai menghayati lagu yang sedang diputar radio, si
celengan juga ikut andil di belakang Faiz. Detik demi detik ia laluinya dengan
penghayatan yang luar biasa hingga meneteslah air mata suci dari pelupuk
matanya. Dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa setelah ia bisa hormat di
depan bendera pusaka di hari yang paling bersejarah ini yaitu tanggal 17
agustus. Sang ibu pun melihat apa yang dilakukan anaknya dan menetes juga air
mata ibu seketika itu.
Kini Faiz tahu benar benar apa yang
maksud dari perkataan ibu waktu itu. “meskipun kamu nantinya mungkin tidak jadi
paskibraka, tetapi hati dan jiwa paskibraka pasti kau dapat”. “memang posturku
dan fisiku memang jelek sehingga tak bisa membawaku menuju seorang paskibraka,
tapi semangat dan jiwaku untuk mengibarkan bendera piusaka di ujung tiang tertinggi
di negeri ini ada dan selalu ada serta jiwa nasionalisme dan patriotisme yang
akan selalu membara di hati.
(Resli Andika)
3. CERPEN bertajuk Sebelum Pukul Tujuh Pagi
Asa sebelum Pukul Tujuh Pagi
Tak lagi benar, pendidikan adalah
sesuatu yang tak harus dituntut dan diperoleh. Apalagi statement tersebut
muncul di tengah-tengah masyarakat yang notabene adalah masyarakat pedalaman.
Mereka berpikir bahwa anak yang lahir terutama anak laki-laki tidak harus
mengenyam jenjang pendidikan yang tinggi. Asalkan mereka mampu bertahan hidup
dengan cukup itu sudah menjadi modal utama untuk membina kehidupan baru.
Statement sepertinya tak menjadi
momok ataupun penghalang bagi seorang
anak yang lahir dari keluarga kurang mampu disebuah desa yang bisa dikatakan
terpencil, baik sarana, prasarana dan pembangunan yang masih tertinggal. Sosok
anak itu adalah Supena yang memiliki semangat hidup dan berambisi untuk meraih
mimpi. Semangat itu tercermin dari sikapnya yang tak pernah minder melihat teman sebayanya dengan
mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Supena tak pernah memaksa ataupun merengek kepada orang tuanya untuk
memenuhi segala keinginannya. Terpenting kini ia sudah mampu menimba ilmu di
sekolah.
Supena kini duduk di bangku Sekolah
Dasar kelas VI yang kini menginjak semester genap. Sekolah tersebut bisa
dibilang metroboledan (sekolah yang
dikelilingi kebun singkong) yang kurang mendapatkan perhatian pemerintah.
Pasalnya dari tahun ketahun tidak ada pembangunan yang berarti terhadap sarana
dan prasarana sekolah tersebut. Akses yang menuju ke sekolah tersebut tergolong
extreme karena setiap Supena harus
berjalan melewati jembatan bambu tua dan jalan setapak 5 km.
Jalan terjal semacam itu tak menyiutkan
asa bocah berumur 12 tahun itu. Setiap hari Supena bangun jam 04.15 pagi
untuk melaksanakan shalat subuh kemudian ia mempersiapkan segala sesuatunya
untuk berangkat sekolah termasuk mandi dan sarapan. Kemudian ia berangkat pukul
05.15 pagi karena ia takut terlambat ke sekolah.
“ Ibu, bapak Supena berangkat dulu “
pamit Supena sambil mencium tangan kedua orang tuanya.
“ Ya, nak ati-ati di jalan Ibu sama
bapak cuma bisa doain kamu” sahut Ibu seraya mengelus rambut Supena.
Supena berangkat ke sekolah dengan
berjalan kaki sendirian namun ia tak takut meskipun masih terbilang pagi buta
orang-orang desa sudah banyak yang berlalu lalang pergi ke pasar. Perjalanan
yang ditempuhnya bisa dikatakan tidak sebentar karena akses yang sulit ditambah
kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Rasa takut kerap menghampiri diri
Supena ketika melewati jembatan bambu tua yang menjadi satu-satunya akses
menuju ke sekolahannya. Kadang ia berpikir dan membayangkan manakala jembatan
yang sering ia lewati ambruk. Terlebih arus sungai yang semakin deras
dikarenakan musim penghujan.
“ Duh, arusnya besar banget, berani
gak ya ...” gumam Supena lirih.
Namun, tekad dan semangat yang kuat
dalam diri Supena mampu menyingkirkan segala hal yang membuatnya ragu
melangkah.
Setibanya
di sekolah Supena langsung menuju ke kelasnya dan tak lama kemudian disusul
oleh gurunya.
“selamat pagi anak-anak, Bapak ada
satu informasi terbaru yaitu ujian nasional akan dilaksanakan dua minggu lagi.
Bapak harap kalian mempersiapkan segala sesuatu terutama mental dan fisik” Ujar
salah seorang guru. “ Siap Pak! “ sahut semua siswa dengan lantang.
***
Tibalah hari yang paling menegangkan
bagi anak-anak kelas VI terutama Supena. Hal ini dibarengi dengan tibanya puncak
musim hujan, air bah datang menyapu bersih jembatan yang menjadi akses menuju
ke sekolah.
Seperti biasa pagi-pagi sekali Supena
berangkat ke sekolah, sesampainya di tepi sungai ia terkejut melihat jembatan
yang biasa dilaluinya sudah tidak ada. Kini hanya tinggal bongkahan bambu rapuh
yang tersangkut di tepi sungai. Hal ini membuat hati Supena gelisah karena ia
merasa dilema bagaimana ia akan sampai ke sekolah, sedangkan jembatan tersebut
sudah lenyap termakan arus air. Kemudian ia berpikir secara keras agar dapat
melewati sungai tersebut dan dapat melaksanakan UN dengan lancar. Tanpa
berpikir panjang dia langsung melepas seragam dan sepatunya kemudian mulai berjalan
menyebrangi sungai tersebut. Dengan semangat dan sedikit kekhawatiran yang
menghampirinya ia berhasil melewati dan sampai di sekolah dengan selamat dan
tepat waktu.
Bel sekolah pun berdenting, semua anak
memasuki kelasnya termasuk Supena dengan memakai seragam yang sedikit basah. Walaupun
demikian Supena tetap berusaha sekuat kemampuannya untuk mengerjakan soal-soal
UN. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan, ia mampu menaklukan soal-soal
yang dianggap oleh sebagian besar siswa sulit.
Hari demi hari ia lewati dengan penuh
semangat meskipun ada banyak hambatan yang ia lalui termasuk perihal putusnya
jembatan yang menjadi akses ke sekolah. Hal tersebut tak menjadi masalah,
baginya itu adalah sebagian kecil dari segala perjuangannya menuju apa yang ia
cita-citakan.
***
Hari dimana pengumuman hasil UN pun
tiba. Supena bingung, bagaimana ia tak akan telat berangkat ke sekolah,
sedangkan air sungai yang biasa dilaluinya meluap. Meskipun demikian ia tetap
bersikeras untuk menyeberangi sungai tersebut bagaimanapun caranya. Perjuangan
yang keras dilakukan Supena dalam menyeberangi sungai. Pertama ia melemparkan
seragam yang sudah dilepasnya untuk menghindari seragamnya basah. Kemudian ia
mulai menyeberangi sungai dengan memegang akar pohon yang menggantung. Hampir
saja ia terbawa arus karena tangannya yang memegang akar pohon hampir terlepas,
untung saja ia masih punya kekuatan untuk menarik badannya menuju ketepian.
Dengan tenaga yang hampir habis setelah melewati sungai, ia memantapkan langkah
kakinya menuju ke sekolah.
Sesampainya di sekolah dengan kondisi ngos-ngosan ia langsung menuju ke
lapangan untuk berbaris dan mengikuti upacara pengumuman hasil UN.
“Asalamualaikum Wr. Wb. ya, kini
tibalah saat yang dinanti-nantikan. Sebentar lagi bapak akan mengumumkan hasil
UN” ujar pak kepala sekolah mengawali pidatonya.
“Dengan penuh rasa bangga bapak akan
mengumumkan nilai terbaik di sekolah kita bahkan di kecamatan. Untuk
mengapresiasi anak itu kami telah mengajukan beasiswa ke sekolah favorit di
kota. Dengan nilai UN 29,75 diraih oleh.... ananda Supena. Selamat kepada
ananda supena atas prestasi yang telah diraihnya” Ujar kepala sekolah
diramaikan oleh tepuk tangan dari siswa lain.
Tanpa berpikir panjang Supena langsung
melakukan sujud syukur, berterimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan segala nikmat baginya.
Setelah sekolah usai, Supena pulang
dengan membawa perasaan gembira yaitu secarik kertas bertluliskan kata “LULUS”
dan “BEASISWA”.
“Aku berhasil bu” ucap Supena dengan
lantang dan langsung memeluk ibunya. Haru bercampur bahagia menyelimuti keluarga
kecil yang sederhana. Sekarang Supena yakin bahwa siapapun kita, apapun latar
belakang kita, kita punya hak untuk SUKSES.
---
SMK
N 3 PURBALINGGA
Resli
Andika
wah., cerpen yang bagus
BalasHapus